Jika ingin memahami dunia digital, pahamilah manusianya. Karena secanggih apa pun teknologi, yang ingin diintervensi pada dasarnya tetap perilaku manusia.
Kemenangan mengejutkan Donald Trump dalam Pilpres AS kemarin ternyata menyeret Facebook ke tengah topik pembicaraan. Facebook dianggap gagal menyaring artikel bohong (hoax) yang berseliweran di timeline pengguna, yang kemudian membentuk opini buruk, utamanya terhadap kandidat Hillary Clinton.
Tuduhan ini menjadi relevan jika melihat fakta besarnya engagement penguna Facebook terkait berita bohong. Jika melihat dua puluh artikel bohong terpopuler seputar Pilpres AS selama periode Agustus-November 2016, jumlah engagement (seperti like, share, dan comment) untuk artikel hoax mencapai 8,7 juta. Angka ini lebih besar dibanding engagement untuk dua puluh artikel terpopuler dari lembaga pemberitaan resmi (seperti New York Times atau Washington Post) yang hanya sebanyak 7,3 juta.
Artinya, publik lebih bereaksi terhadap berita bohong dibandingkan berita sesuai fakta dari lembaga pemberitaan resmi. Fakta ini ternyata tidak membuat Roby Muhammad terkejut. “Artikel hoax cenderung memberikan justifikasi akan opini seseorang dan biasanya bersifat emosional sehingga memberikan stimulasi dan efek kejut tinggi,” ungkap Roby.
Antara Fisika dan Sosiologi
Kefasihan Roby Muhammad menganalisis perilaku memang bukan tanpa sebab. Pria kelahiran Bandung 41 tahun lalu ini memiliki gelar Master dan PhD di bidang sosiologi dari Columbia University, New York. Namun, Roby sebenarnya memulai studinya di Jurusan Teknik Fisika ITB.
Mengapa ia memiliki latar belakang pendidikan yang begitu berbeda? Ternyata Roby memiliki jawaban tersendiri. “Sejak kecil, saya selalu pengen tahu mengapa sesuatu terjadi,” cerita Robby. Karena itulah, ia memutuskan mengambil kuliah di Jurusan Teknik Fisika ITB. “Karena tidak ada rahasia yang lebih misterius dari alam semesta,” kenang Roby.
Namun menjelang akhir masa kuliah, krisis ekonomi tahun 1998 terjadi. Rentetan kejadian mengejutkan pun menyusul, seperti terjadinya kerusuhan, munculnya gerakan reformasi, sampai mundurnya Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. “Saya jadi berpikir, kok tidak ada yang memprediksi hal seperti ini, padahal kita bisa memprediksi lahirnya alam semesta?” tanya Roby.
Sejak itulah, ketertarikan Roby akan dunia psikologi muncul, la ingin menggunakan ilmu pengetahuan untuk bisa mempelajari psikologi manusia. Saat berkuliah di Columbia University, Roby pun bergabung dengan komunitas orang-orang teknis (seperti matematika, fisika, maupun computer science) yang ingin memanfaatkan kemampuan teknisnya untuk mengatasi masalah sosial, ekonomi, dan politik.
Latar belakang pendidikan teknis dan sosiologi ini membawa Roby untuk melihat dunia digital secara lebih jernih. Termasuk melihat korelasi erat antara dunia digital dengan ilmu sosial.
“Ketika era Google, intinya adalah search,” ungkap Roby menganalisis. Pada era itu, faktor utama dalam menentukan eksistensi sebuah entitas di dunia Internet adalah algoritma. “Jadi game-nya adalah bagaimana hasil search itu ada di atas,” jelas Roby. Namun kini, dunia digital memasuki era media sosial atau social web. Algoritma memang masih memegang peranan penting, namun faktor perilaku manusia juga sama pentingnya.
“Contohnya di Facebook. Selain algoritma, yang juga penting adalah perilaku manusia, seperti bagaimana like atau comment pengguna,” ungkap Roby mencontohkan. “Jadi saat ini, yang menjadi target intervensi adalah perilaku manusia,” ungkap Roby. Fakta ini menunjukkan sosiologi memiliki peran vital di dunia digital saat ini. Dengan memahami perilaku manusia, produk digital akan lebih mengena di hati konsumen.
Hal inilah yang menjelaskan mengapa pemain besar dunia digital, seperti Google, Facebook, atau Apple memiliki sosiolog dan psikolog di jajaran tim ahlinya. Campur tangan mereka hadir di berbagai aspek kehidupan digital, apakah itu tampilan sebuah situs, di strategi harga di situs e-commerce, maupun di setiap posting yang kita baca di media sosial. “Saat ini rata-rata orang mengecek handphone sekitar dua ratus kali sehari, jadi seperti kecanduan. Dan [kecanduan seperti ini] memang sengaja didesain, bukan sebuah kebetulan,” tambah Roby untuk menggambarkan bagaimana sosiologi sebenarnya berperan penting dalam dunia digital.
Apakah berarti teknologi digital menimbulkan efek negatif bagi peradaban manusia? Menurut Robby, teknologi selalu menawarkan hal positif dan negatif. “Mobil membantu kita, namun angka kecelakaan akibat mobil juga tinggi,” ungkap Roby menganalogikan. Intinya, teknologi digital telah hadir di peradaban manusia, dan berpulang ke kita untuk memanfaatkan teknologi digital sebagal hal positif atau terjebak ke hal-hal negatif.
Mengaplikasikan Ilmu
Keterkaitan dunia digital dan Ilmu sosial sebenarnya juga berlaku dua arah. Di satu sisi, psikologi memengaruhi dunia digital, sedangkan di sisi lain, dunia digital merevolusi ilmu sosial. “Dunia digital bagi Ilmu sosial itu seperti teleskop di dunia fisika atau mikroskop di dunia biologi,” ungkap Roby. Dengan teleskop, manusia bisa melihat pergerakan alam semesta yang kemudian melahirkan hukum gravitasi. Sementara mikroskop memungkinkan manusia melihat mikroorganisme di dalam tubuh dan melahirkan ilmu biologi modern.
Melalui dunia digital, semua perilaku manusia tercatat dengan skala yang masif. “Mungkin pertama kali dalam sejarah manusia, perilaku manusia terekam dalam jumlah besar melalui jejak-jejak digital,” ungkap Roby.
Dunia digital seperti laboratorium ilmu sosial yang sebelumnya tidak pernah ada.
Karena itulah Roby, yang saat Ini menjadi dosen tingkat S2 dan S3 di Fakultas Psikologi UI, mengharuskan anak didiknya untuk menguasai coding. “Karena kalau tidak bisa manipulasi dan interpretasi data, kita akan ketinggalan,” ungkap Roby. Roby pun berharap bahwa pemahaman Ini juga menular ke mahasiswa computer science. “Kita memang butuh algoritma canggih, namun perlu diingat kalau semua produk ujungnya adalah perilaku manusia. Tanpa memahami itu, akan sulit mengembangkan produk digital yang bagus,” tambah Roby.
Di luar kesibukan mengajar, Roby saat Ini juga merintis dua startup yang berkaitan dengan teknologi sosial. Yang pertama adalah Provetic, layanan konsultasi berbasis pengolahan data (baik data internal perusahaan maupun eksternal seperti media sosial). “Dari data itu kitabisa rumuskan apa saja, seperti marketing campaign, kebijakan HR, dan lain-lain,” ungkap Roby.
Sementara startup kedua adalah Ygort, media sosial untuk mencari teman. Yogrt merupakan antitesis media sosial saat ini yang layanannya lebih kepada menjaga pertemanan. “Jarang ada media sosial yang khusus mencari teman baru tapi bukan dating apps,” ungkap Roby menceritakan perbedaan Yogrt. Cara orang mencari teman sendiri berbeda-beda, dan di sinilah peran ilmu sosial menjadi penting. “Yang kita selesaikan sebenarnya masalah manusia, yang dibantu dengan teknologi,” tambah Roby.
Dengan kata lain, teknologi sebenarnya adalah alat. Yang menjadi faktor utama di dunia digital tetaplah manusia dengan segala perilakunya. Hal ini penting dipahami semua pihak, termasuk pemerintahan maupun perusahaan, yang ingin memahami dunia digital. Jika faktor teknologi dan psikologi bisa dipadukan, probabilitas sebuah produk digital bisa sukses pun akan lebih besar. “Teknologi memang sudah canggih, namun ujung-ujungnya tetap perilaku manusia” ungkap Roby.
Sumber :
Info Komputer Desember 2016